Loading...

Cerita Sahabat Mendaki Gunung Argopuro | Sahabat Alam dari Bandung

Argopuro, Heaven in Earth (Catatan Perjalanan Pendakian Gunung Argopuro, Jawa Timur)
 Seorang Mahasiswa Asal Bandung bernama Vincent dinyatakan hilang pada akhir Januari 2006. Pencarian yang dilakukan tim SAR, Kopasus, dan tentu saja oleh teman-teman seorganisainya MAHITALA Universitas Parahyangan belum mebuahkan hasil hingga akhirnya ditutup pada tanggal 28 Maret 2006. Namun Mahitala bertekad untuk melanjutkan pencarian terhadap rekan mereka.

Hari pertama (07 April 2006), Keberangkatan ke Surabaya

Bergegas berjalan meninggalkan kantor, hari ini aku izin pulang lebih awal supaya bisa tiba dibandara tepat pada waktunya. Berjalan meninggalkan kostan, aku memanggul 1 buah ransel ukuran 50 liter dipunggung dan satu daypack didepan yang membuat aku menjadi pusat perhatian, seperti biasa aku berusaha tak perduli.

Di bis, aku mulai cemas memperhitungkan jam tempuh ke bandara, mudah-mudahan nggak telat dengan keadaan macet seperti ini. Kali ini aku akan berangkat dengan Mbak Titik dan Edi, aku mengirimkan pesan menanyakan posisi mereka, ternyata aku berangkat lebih dulu sehingga berposisi lebih dekat ke bandara. Akhirnya sampai dibandara jam 19.10, segera aku cek in dan memberitahu Mbak Titik lewat sms.

Masih ada waktu, aku mengisi perut dengan bakso malang dibagian depan bandara dengan harga bandara tentunya. Setelah itu aku berdiri didekat barisan penumpang Air Asia yang sedang antri untuk cek in, menunggu munculnya mbak Titiek & Edi. Karena yang kutunggu tak juga tiba, aku memutuskan menunggu di ruang tunggu. Tidak lama kemudian mereka muncul sudah lengkap dengan kostum tempur pendakian.

Kedatangan kami dibandara Haji Juanda sudah ditunggu Hendra, teman pendaki dari Surabaya. Dia bersedia menyediakan waktu untuk menjemput dan memberi tempat untuk menginap dirumahnya. Kami mendapat info, bahwa rombongan Nana, Bang Asdath dan Mas Joko yang sudah tiba dibandara pagi harinya sempat kesulitan menemukan terminal Bungur Asih (Purabaya) dimana mereka memutuskan untuk mencari hotel tempat menginap. Malam itu kami berbincang-bincang dengan tuan rumah sebelum tidur.

Hari kedua (08 April 2006), Menuju Baderan

Setelah sarapan dengan menu yg disediakan tuan rumah, kami pamitan untuk berangkat menuju baderan. Kami mendatangi hotel tempat Nana-Bang Asdath-Mas Djoko menginap, kemudian tim Cilegon: Budi Dkk muncul lalu kami berangkat menuju terminal beramai-ramai. Diterminal, semua tim akhirnya berkumpul, sudah menunggu Lukma-Imel yang berangkat dengan pesawat pagi, cepot, Bubun, Rian, Kris dan Ivan yang naik kereta jumat malam.

Setelah penantian yang panjang terhadap Sulis, akhirnya team berangkat dengan bis menuju Besuki, Situbondo dengan di iringi hujan . Suasana meriah dimulai di bis ini, canda mulai terdengar, celaan mulai hadir. Berbahagialah mereka yang duduk didepan, karena karena beberapa kali tumpukan ransel jatuh menimpa kepala kami yang duduk dikursi paling belakang. hikzz…

Kedatangan kami di Besuki disambut ribuan burung yang terbang dilangit. Mungkin burung-burung itu bermigrasi ketempat lain, beberapa teman mengabadikannya dengan handycam. Pasukan mulai berpencar mencari logistik untuk pendakian, belanja dimulai dari bawang, telor, hingga spritus untuk bahan bakar memasak.

Sebelum naik ke mobil yang mengantarkan kami ke desa Baderan, terlebih dahulu kami mengisi perut masing-masing. Beberapa orang mengerumuni warung tenda sate madura, yang lainnya memilih untuk menikmati sop sapi. Saya yang kebetulan menikmati sate ayam, berkesempatan makan gorengan hangat dengan sambal petis yang enak luar biasa dengan harga hanya Rp 300,- per buah. Dengan rasa dan ukuran seperti itu, minimal kita harus membayar Rp 700 di Jakarta. Ibu penjual bakwan itu menanyakan asal dan tujuan kami, “kalau datang ke Besuki lagi, jangan lupa singgah disini yaaa…” katanya ramah

Angkot penuh sesak oleh kami, setiap sudut di isi maksimal, bahkan hingga lantai. Menggerakkan kaki pun sulit sehingga kami harus pasrah merasakan kram selama di jalan. Hujan turun membasahi ransel-ransel yang di ikat di atas mobil, juga membasahi tubuh yang kurang beruntung mendapat tetesan dari dinding dan kaca mobil. Sesampai nya di desa Baderan, kami segera menuju pos PHPA sambil dengan enggan membawa ransel yang kuyup.

Malam itu pos PHPA mejadi meriah dengan hadirnya kami, seluruh ruangan di isi dengan ransel-ransel dan manusia. Beberapa orang terlihat antri untuk mandi, ada yang repacking, ada juga yang ngobrol. Suasana menjadi penuh gelak tawa ketika penyamaran seorang jungle king terkuak. Sungguh kasihan korban-korbannya hehehe…

Ketika mengisi buku daftar pendakian, segera saya membalik buku tersebut ke bulan Januari, dengan pemikiran bahwa tentunya Vincent, pendaki yang hilang akhir Januari lalu menuliskan namanya disitu. Benar saja, Vincensius, mendaftarkan pendakiannya pada tanggal 21 Januari dengan menggunakan sebuah pensil, menuliskan alamat organisasinya, nomor telepon termasuk juga nomor telepon genggam miliknya. Ia juga menuliskan bahwa ia akan turun dari Desa Bremi.

Perasaan haru, sedih, kasihan, campur aduk dalam benakku. Menyaksikan tulisannya mempertegas padaku bahwa hilangnya Vincent bukan hanya sekedar berita yang biasanya aku dengarkan sambil menyantap makan siang, dia ada dan nyata. Dia adalah sebuah jiwa yang sama seperti aku dan teman-teman yang lain, yang mempunyai resiko hilang dihutan rimba. Kami tak tahu kapan nasib baik akan meninggalkan kami. Dimana dia sekarang? Bagaimana keadaanya? Fikiran bahwa ia akan sulit bertahan hidup selama 2 bulan lebih di hutan rimba membuat hatiku ngilu. Berkali-kali aku menelusuri setiap lekuk tulisan tangannya…

Aku mengirimkan pesan kepada Joan, kakak angkatan Vincent yang sempat aku kenal karena kami pernah tinggal dalam pondokan yang sama. Dia mengatakan bahwa saat itu mereka sedang Merayakan Dies Natalis Mahitala yang akhirnya menjadi acara yang penuh dengan cucuran air mata karena hilangnya Vincent. Titip doa untuk adikku di puncak ya rin, kata Joan dalam pesannya. Malam itu aku mencari secarik kertas untuk menuliskan sebuah doa untuk Vincent.

Aku, Nana dan Mbak Titiek memutuskan untuk menyewa tenaga porter untuk membantu meringankan beban kami, keputusan ini kami ambil karena mempertimbangkan lama perjalanan, yang tentunya tidak akan bisa kami nikmati kalau membawa beban terlalu berat. Ternyata keputusan ini sangat-sangat berguna, disamping beban yang menjadi ringan, kami juga dibantu oleh Mustakim, nama porter kami, untuk menunjukan jalan menuju danau Tunjung.

Beberapa orang yang belum tidur membahas masalah hilangnya Vincent dengan salah seorang penjaga PHPA yang sempat mengenalnya selama beberapa hari. Ditengah asyiknya pembahasan kami, tiba-tiba tercium aroma yang sangat tidak enak. Entah siapa orang yang menghembuskan aroma itu, mereka yang sudah tidurkah? atau salah satu yang masih terjaga? Siapapun dia, yang jelas dia mampu membubarkan kami. Dengan omelan masing-masing kami beringsut keruangan lain lalu bersiap tidur.

Hari Ketiga (09 April 2006), Menuju Pos Mata Air I

Rasanya hati tidak tega melihat dua karung yang terisi padat oleh barang-barang kami. Aku berusaha mengangkatnya sedikit untuk merasakan seberapa berat beban porter nantinya. Pikulan itu hanya bergerak sedikit ketika aku sudah mengeluarkan semua tenaga. Aku pun menanyakan pada Mustakim, apakah dia biasa membawa beban seberat itu. Anggukannya yang sungkan-sungkan semakin menambah rasa nggak enakku.

Perjalanan di mulai dengan berjalan melintasi ladang-ladang penduduk, belum lewat 1 jam pertama, kami berhenti menunggu seorang teman yang ketinggalan dibelakang. Akhirnya diketahui bahwa bebannya terlalu berat. Kami berhenti dan menghubungi pos PHPA minta dikirimkan 1 orang porter lagi namun porter yang diharapkan sedang tidak ada. Akhirnya bebannya dibagi ke ransel teman-teman yang masih bisa diisi.

Perjalanan selanjutnya ditemani rintik-rintik hujan yang kemudian memang rajin mengiringi kami hingga akhir pendakian. Lembah yang kami pijak berhadapan dengan lembah yang didinding-dindingnya mengalir banyak sungai. Mata mulai disuguhi pemandangan indah. Jalan tidak terlalu menanjak, hingga ke pos Mata Air I.

Malam sudah menjelang ketika kami tiba di pos Mata Air I, masing-masing mulai mendirikan tenda dan memasak. Menurut keterangan mereka yang turun mengambil air, jalan menuju kesana sangat terjal dan licin. Malam itu terdengar dengkuran dari tenda-tenda disebelah kami, tapi yang paling nyaring tentunya dengkuran dari tenda sendiri, Garempa kelihatannya kecapekan hari ini

Hari Keempat (10 April 2006), Menuju Cikasur

Pagi hari acara masak kami ditemani oleh lagu-lagu dari MP3 Ivan, Bob Marley, Dewa 19 , Samson, U2 dll ngamen buat kami. Disana sini terdengar suara-suara sumbang yang mencoba menemani MP3 bernyanyi. Terik matahari membakar punggung kami yang sedang meramu menu sop tanpa daging.

Sekitar jam 11 kami mulai meninggalkan pos Mata Air I, Jalur tidak terlalu menanjak, Tri atau yang biasa dipanggil Gagap merelakan diri membawa ransel Ivan setelah kemaren dia rela membawa ransel Garempa yang tinggi menjulang. Alangkah baiknya dikaw gav… Panas matahari dipagi hari ternyata hanya sebentar, kami kemudian kembali disirami hujan. Menjelang alun-alun kecil kabut turun sangat tebal, yang memberikan pemandangan sedikit menarik. Aku yang sedang sendiri mengabadikan kabut yang menyelimuti hutan ketika itu.

Kami sampai di alun-alun kecil dan mendapat informasi bahwa Cikasur masih harus ditempuh sekitar 1 jam lagi. Hujan masih turun. Didepanku aku melihat Tri/Gagap berjalan tanpa ransel, ternyata dia kembali lagi karena merasa teman-teman yang dibelakangnya tertinggal jauh. Kami menjumpai beberapa padang rumput yang semula kami kira Cikasurr, tapi kami kembali melanjutkan perjalanan karena tidak menjumpai teman-teman yang berjalan lebih dulu. Apakah kami akan menuju Cisentor? Pikirku yang waktu itu tidak tahu bahwa padang rumput yang kami lewati bukanlah Cikasur.

Setelah melewati 2 padang rumput (cikasur palsu) akhirnya kami sampai di Cikasur asli jam 17.30. Pemandangan indah yang hanya pernah aku saksikan lewat sepotong foto, akhirnya terpampang bebas didepan mata. Hamparan rumput membentang luas, dengan bukit-bukit sebagai pembingkainya. Budi, Herry, Bubun dan Rian sudah sampai, sedangkan yang lainnya belum kelihatan. Kami memasak welkam drink di pondok untuk teman-teman yang belum tiba.

Malam itu sebagian tim tidur diatas pondok, sedangkan yang lainnya masih setia dengan pasangan pada malam sebelumnya didalam tenda masing-masing.

Mencari Telaga Tunjung (11 April 2006)

Pagi hari, kami membahas topik siapa sebenarnya yang mengajak Gagap dalam pendakian kali ini, setelah penelusuran yang cukup mendalam dengan mengumpulkan informasi dari berbagai pihak, akhirnya tertuduh pertama dan satu-satunya adalah Mas Joko. Kami pun memutuskan untuk memusuhi Mas Joko karena hal itu.

Selesai sarapan, kami bersiap-siap menuju Telaga Tunjung sementara sebagian memutuskan tinggal di Cikasur untuk istirahat. Kaki- kaki mulai menapaki padang rumput dengan santainya, tidak tahu betapa mengerikannya jalur yang akan kami lewati didepan. Apalagi sang turis manca negara yang dengan centilnya memakai celana pendek. Hehehe…

Hanya beberapa menit saja kami berjalan di padang rumput, setelah itu kami memasuki hutan rapat, jalan yang kami lalui kelihatannya sangat jarang dilalui, hal ini terlihat dari pohon-pohon yang menutupi jalur, sang porter yang berjalan didepan, tak henti menebaskan aritnya untuk membuka jalan bagi kami. Daun-daun jelatang mengancam dikanan dan kiri jalan. Terdengar jeritan disana-sini karena dikecup oleh sang daun, betapa malangnya nasib yang bercelana pendek ketika itu. Jalan yang kami lalui sesekali menanjak tetapi lebih banyak menurun. Terpikir betapa berat tanjakan yang akan kami lalui nantinya ketika kami melewati turunan yang panjang.

Kami sudah berjalan 3 jam namun tanda-tanda danau akan kelihatan belum juga ada. Didepan yang ada hanya bentangan hutan yang luas. Siporter pun menjawab 10 menit lagi setiap ditanya. Tiba-tiba didepan kami terlihat tanah bekas longsoran yang sepertinya terlihat sulit untuk dilewati. Mas Joko mengingatkan bahwa, jika waktunya sudah tidak cukup sebaiknya kami kembali saja, mengingat hari sudah sore, akan sulit bagi kami untuk melewati jalan yang tadi kami lewati kalau hari sudah gelap. ‘Kalau masih jauh, balik aja Qim…” kata mas Joko kepada porter kami.

Kembali kami menanyakan pada porter berapa lama lagi akan sampai ke danau tersebut, jawaban yang sama: 10 menit lagi. Dengan sedikit ancaman, kami menayakan apakah benar-benar 10 menit lagi. Si porter mengangguk.

Kami melanjutkan menuju Telaga/Danau. Mungkin lebih dari 10 menit kemudian, kami sampai di sebuah telaga kecil berwarna merah. Aku senang sekali, menyangka itulah danau/telaga yang kami tuju. Segera aku berteriak-teriak memanggil yang lain, memberitahukan bahwa aku sudah melihat telaga. Mustaqim malah menunjuk kedepan mengatakan bahwa masih ada telaga lain. Hanya beberapa meter jaraknya dari telaga merah, telaga Tunjung membentang dibalik pohon-pohon. Kami senang sekali akhirnya menemukan telaga itu. Agak sulit mendekatinya karena pinggirannya yang tidak kering. Kalau kami pulang tanpa menemukan telaga ini, tentu kami akan kecewa sekali, apalagi badan sudah capek dihajar jalur yang begitu rapat dan setruman daun Jelatang. Namun saat menemukan telaga itu, perasaan penasaran hilang, rasa capek terobati.

Hanya sebentar kami disana mengabadikan telaga Tunjung, kami kembali menuju Cikasur dengan tergesa-gesa karena takut kemalaman. Apalagi Ndodro yang selalu mewanti-wanti agar kami bergerak cepat, agar tidak kemalaman.

Hujan turun, membuat kami segera mengeluarkan rain coat. Saat itu Kris baru menyadari membawa ia membawa sebuah celana rain coat yang dibiarkannya menganggur waktu berangkat tadi, sementara kaki Nana dihajar daun Jiancuk. Teganya dikau Kris…

Perjalanan kembali terasa berat karena tanjakan-tanjakan, namun Mustaqim tidak perlu menebas-nebas lagi, sehingga perjalanan jadi lebih singkat. Perasaan lega hadir ketika melihat bentangan padang rumput menghampar, dan kami tidak kemalaman seperti yang dikhawatirkan semula. Jalur yang rapat dan menanjak sudah lewat. Kamipun istirahat sebentar, sambil menyalurkan bakat-bakat model kami.

Hari menjelang malam, namun pemandangan menjelang Cikasur sangat indah, padang rumput, bukit dikejauhan dan bula purnama yang bulat sempurna muncul diatasnya. “Pemandangan ini nggak akan aku lupakan seumur hidup” kataku pada Nana dan Mbak Titik.

Sesampainya di Cikasur, aroma wangi bumbu dapur menyambut kami, kabar angin yang mengatakan bahwa malam ini sang pemburu tua akan berbaik hati, memanjakan perut kami dengan nasi liwetnya yang terkenal kelihatannya akan menjadi nyata. Segera kami mendekati sang pemburu yang sedang memasang wajah konsen didepan kompor. Benar saja, beberapa nesting nasi liwet sudah duduk dengan manisnya didekat sang pemburu, dan ada juga yang masih diolah.

Tidak lama kemudian kami sudah berhadapan dengan nasi liwet dipiring masing-masing lengkap dengan selada air tumis. Rasa capek tertebus dengan nikmatnya hidangan malam itu.

Menuju Cisentor (12 April 2006)

Hati agak berat untuk meninggalkan Cikasur yang indah, tapi kami tetap harus berjalan. Dan kamipun menuju Cisentor. Perjalanan masih seperti hari sebelumnya, melintasi padang rumput dan sedikit tanjakan, sekitar jam 12.00 kami sampai di Cisentor. Kamipun beristirahat dan makan siang. Diputuskan untuk menuju puncak hari itu.

Menuju Puncak

Perjalanan cukup berat sesungguhnya dimulai dari Cisentor menuju puncak. Tanjakan terjal tidak pernah diselingi “bonus”. Hujan kembali turun seolah mempertegas bahwa tidak akan ada hari tanpa hujan dalam perjalanan kali ini.

Disini aku merasakan beratnya berjalan didepan mas Joko yang dengan segera berkata “ayo, jalan terus! Begitu kita berhenti. Wajah memelas pun dipasang meminta belas kasihannya, tapi dia tetap berkata “ayo, jalan terus! Sambil sesekali ditambahi kata-kata “ ntar kemaleman!” Waktu itulah aku dan Nana menabalkan julukan baru buat mas Joko sebagai “kakak senior”. Segera kami mencari alasan supaya bisa jalan dibelakangnya saja. Karena tak ada istirahat yang aman ketika bersama Ndodro P

Diperjalanan tak hentinya aku melihat kekiri dan kekanan, memperhatikan setiap belokan atau percabangan jalan yang mungkin bisa membuat pendaki salah jalan. Mengingat ransel Vincen ditemukan didaerah Cisentor, tentunya ia hilang dalam perjalanan dari Cisentor ke puncak atau dari puncak ke Cisentor. Jalan terlihat dengan jelas. Apakah waktu itu kabut? apakah pengelihatannya yang kurang membuatnya salah jalan. Dijalur terlihat beberapa marker tim SAR yang mencari Vincen. Dalam marker tertera bahwa sistim pencarian yang dilakukan oleh pemulis marker itu adalah “tracking mode”. Menilik dari namanya, orang yang menulis marker itu mencari dengan cara mengikuti jalan-jalan setapak.

Menjelang puncak kami melihat batu-batu yang disusun rapi yang konon adalah runtuhan candi. Tapi batu-batu tersebut tidak terlihat seperti batu candi pada umumnya. Apakah para pejiarah menyusun batu-batu tersebut sebagai usaha untuk membuat candi atau tempat pemujaan lainnya? Apakah benar susunan batu-batu itu runtuhan candi?

Kami sampai di puncak Rengganis jam 16.30. Pemandangan khas puncak gunung tersuguh, langit biru, awan, dan hamparan pegunungan. Kami saling bersalaman, mengucapkan selamat satu sama lain karena telah berhasil mencapai puncak. Masing-masing sibuk mengabadikan saat itu dengan foto dan handycam, berpose sendiri, berdua atau beramai-ramai. Diam-diam aku menaruh secarik kertas yang dibungkus dengan plastik diantara batu-batu. Sebuah doa tertulis dalam kertas itu untuk Vincen. Diantara hiruk pikuk kami, aku menjauh sejenak, mengucapkan doa untuk Vincen. Tuhan…dimanapun ia berada, semoga ia besertaMu..

Pemandangan segera berubah kemudian, kabut mulai menyelimuti dan kamipun bergegas turun. Jam menunjukan 17.30 ketika kami sampai di pertigaan Rengganis, Argopuro dan Jalan turun. Malam menjelang. Setelah berunding singkat, kami membagi menjadi 2 kelompok, sebagian tim ingin melanjut ke puncak argopuro, sebagian lagi memutuskan langsung turun. Kami berpisah dipertigaan itu.

Kami yang turun kembali ditemani hujan dan kabut. Malam sudah turun. Entah karena badan sudah capek, entah karena tak ada janji sebuah puncak lagi di tempat yang kami tuju, perjalanan menuju Cisentor terasa panjang dan lama dibandingkan ketika menuju puncak tadi. Aku berfikir bahwa ketika sudah dekat Cisentor akan terdengar suara air sungai, namun suara air yang ku tunggu-tunggu tak juga terdengar. Lama sekali rasanya hingga akhirnya suara air terdengar dikejauhan, kamipun mempercepat langkah. Namun perkiraan bahwa kami akan sampai di Cisentor ternyata salah, tikungan demi tikungan masih saja ada. Berjalan malam memang jauh dari nyaman,apalagi ditemani hujan dan kabut. Meski berjalan terus, dingin tetap saja menggigit kulit kami.

Sekitar jam 19.30 kami sampai di Cisentor. Kami mendapati Mustakim sedang meringkuk dengan hanya diselimuti sarung di pondok. Segera aku menyapa dan menanyakan apakah dia sudah makan, dia langsung bangun sambil menjawab bahwa ia belum makan. Rian sedang masak didalam tenda dan memberikan welkam drink teh manis. Budi dan aku mendirikan tenda, ketika tenda sudah hampir selesai, Budi segera menyuruh aku mengganti pakaian yang basah. Malam itu memang luar biasa dingin. Dipondok, aku melihat Bang Asdath sedang masak ditemani Mustakim. Tim yang muncak ke Argopuro tiba sekitar jam 21.00. Semua kembali bergabung menjadi satu.

- catatan perjalanan ini kurang lengkap catatan waktunya karena aku ga bawa jam tangan gara2 talinya putus, akhirnya buta waktu deh. bagian yang ada waktunya itu karena aku nanya-nanya jam ke yang laen.

-catatan perjalanan pulang akan di posting di babak berikutnya, karena selain belum selesai, aku juga sengaja membagi jadi dua bagian supaya nggak kepanjangan -)

-catatan perjalanan ini tidak cocok untuk referensi buat teman2 yg akan mendaki ke Argopuro, karena memang tidak memuat data2 soal waktu pendakian, transportasi atau data ilmiah lainnya -)





Perjalanan Rina Sandra Simanungkalit (anggota Gempita Angkatan VIII

4 komentar:

  1. Terima kasih sudah berbagi cerita tentang perjalanan mendaki gunung argopuro, sangat membantu.
    salam

    BalasHapus
  2. wah,ini punya saya diambil tanpa izin

    BalasHapus

 
Toggle Footer
TOP